Banda Aceh – Kegiatan Jambore Pramuka yang semestinya digelar pada Kamis, 24 Juli 2025, di Jantho, Aceh Besar, secara mendadak dibatalkan. Pembatalan ini diduga kuat berkaitan dengan manuver politik yang dilakukan Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, dalam perebutan kursi Ketua Kwartir Cabang (Kwarcab) Pramuka Kota Banda Aceh.
Sumber internal menyebutkan, Illiza menghendaki agar Afdhal Khalilullah, Wakil Wali Kota Banda Aceh, ditunjuk sebagai Ketua Pramuka menggantikan Amiruddin, mantan Penjabat (Pj) Wali Kota yang hingga kini masih menjabat secara sah. Intruksi politik pun diduga dilayangkan: jika musyawarah pemilihan Afdhal tidak segera digelar, maka seluruh kegiatan kepramukaan di Banda Aceh akan dihentikan—termasuk Jambore yang telah disiapkan berbulan-bulan sebelumnya.

Situasi ini memicu kegaduhan di kalangan sekolah dan para pembina Pramuka. Persiapan fisik dan logistik yang sudah dilakukan oleh para siswa dan pihak sekolah kini sia-sia. Tempat telah disewa, perlengkapan dibeli, dan latihan intensif telah dijalani oleh para peserta. Namun semua itu kandas karena satu keputusan politis.
“Anak-anak kecewa berat. Mereka sudah berlatih, bahkan ada yang mengeluarkan uang pribadi untuk perlengkapan. Ini murni pengorbanan demi pendidikan karakter. Tapi yang terjadi justru mereka dikorbankan oleh kepentingan politik penguasa,” ujar Yulindawati, aktivis perempuan yang aktif memantau kebijakan pemerintah daerah.
Pembatalan ini dinilai sebagai bagian dari skenario penguasaan struktur organisasi Pramuka oleh pihak-pihak tertentu, dengan potensi penyesuaian ulang anggaran kegiatan jambore. Dugaan pengelolaan anggaran secara terpusat oleh kubu Wali Kota pun mulai mencuat, menambah panjang daftar pertanyaan publik mengenai transparansi dan integritas dalam penggunaan dana kegiatan kepramukaan.
Ironisnya, di saat Musyawarah Cabang (Muscab) tingkat provinsi saja belum dilaksanakan karena tarik-menarik kepentingan antara Muzakir Manaf (Ketua Kwarda Aceh) dan Fadhlullah (Wakil Gubernur Aceh) soal kepemimpinan Kwarda, Pemerintah Kota Banda Aceh justru terburu-buru memaksakan proses internal di tingkat kota.
“Bagaimana mungkin Banda Aceh dipaksa melakukan muscab sementara provinsi belum ada kepastian? Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, tapi bentuk pengabaian terhadap sistem dan etika organisasi,” ungkap salah satu pengurus Kwarcab yang enggan disebutkan namanya.
Keputusan pembatalan kegiatan ini memunculkan pertanyaan serius: apakah pendidikan dan pembinaan generasi muda kini tak lebih dari alat tawar politik lokal?
Kini, kekecewaan meluas. Sekolah-sekolah yang telah berinvestasi waktu dan anggaran merasa dikhianati. Para pembina geram. Dan yang paling dirugikan, tentu saja, adalah para anggota Pramuka muda yang semestinya mendapatkan pengalaman berharga dalam proses pendidikan nonformal.
Jika kepentingan politik lebih diutamakan ketimbang masa depan anak-anak, maka arah kepemimpinan daerah ini patut dipertanyakan. Jambore boleh dibatalkan, tapi suara kekecewaan publik tak akan diam begitu saja.